Hi! WELCOME TO MY BLOG

Rabu, 08 Januari 2014

Renungan Untuk Penonton Televisi di Indonesia

Tulisan ini berdasarkan penuturan seorang presenter Televisi Pandji Pragiwaksono, penuturannya akan membahas tentang keadaan industry Televisi, isinya tertuju untuk Industri TV di Indonesia berikut penuturannya,

Industri TV memang aneh.

Fakta bahwa mereka hidup dari rating karena pengiklan berpatokan kepada rating membuat tindak tanduk stasiun TV jadi aneh aneh demi ditonton orang.

Sebenarnya, penonton TV itu seperti Piramid terbalik. Yang paling banyak nonton adalah yang merupakan kelas ekonomi bawah. Artinya ketika sebuah acara TV ratingnya bagus, maka itu bukan menandakan program tersebut banyak ditonton orang, tapi menandakan bahwa program TV itu banyak ditonton oleh masyarakat kelas bawah.

Sistem survey Nielsen Media Research juga disesuaikan dengan strata ekonomi para penonton TV. Misalnya, dari 100 responden, 50% adalah dari strata ekonomi bawah, 30% ekonomi menengah, 20% ekonomi atas. Mengapa angkanya tidak rata, karena kenyataannya memang yang nonton jumlahnya tidak rata. Kalau angkanya dibuat sama, maka hasil risetnya tidak akan akurat menggambarkan kenyataan di lapangan

Itulah mengapa banyak program TV yang terpaksa di “Dumb it down” atau dibikin “goblok” demi mendapatkan perhatian masyarakat kelas bawah.

Lucunya, atas alasan pencitraan, sejumlah stasiun TV mengaku kepada saya mereka butuh program program kelas menengah ke atas. Stasiun stasiun TV ini mulai kewalahan menyuguhkan program program TV kelas bawah karena iklan yang masuk akhirnya untuk masyarakat kelas bawah yang notabene bukan perusahaan besar dan kurang mampu bayar mahal. Sebagai ilustrasi, anda tidak akan pernah melihat iklan BMW di Indosiar.

Namun TV dengan sasaran penonton kelas menengah ke atas juga kewalahan karena iklan iklan tidak ada yang masuk, pengiklan tidak mau pasang di TV tersebut karena penontonnya sedikit.
Harusnya pengiklan tidak memasang iklan dengan ditentukan dari berapa banyak orang yang menonton, tapi siapa yang menonton.

Saya jadi ingat Dave Chappelle, yang setelah punya reputasi hebat sebagai Stand-Up Comedian ditawarin membuat program TV The Dave Chappelle Show.

Setelah 2 season yang super sukses,  thn 2005 Viacom sebagai induk perusahaan Comedy Central menawarkan kontrak season 3 & 4 sebesar $ 55.000.000,- atau sebesar Rp 550 milyar.  Sekadar info, 1 season adalah 13 episode. Untuk acara mingguan maka artinya 2 season itu tayang sepanjang 6 bulan kurang lebih.

Dave Chappelle menolak kontrak tersebut, dan bersama anak istrinya pindah ke Afrika untuk hidup tenang sebelum akhirnya kembali ke Amerika Serikat.

Pertanyaanya kemudian, mengapa Dave meninggalkan uang begitu banyak?
Jawabannya, terselip di panggung ketika dia sedang dalam pertunjukan Stand-Up Comedy di 2004. Salah satu penonton sepanjang malam nge-heckle Dave (heckle atau heckling adalah ketika ada penonton yang sepanjang pertunjukan teriak teriak mencoba menarik perhatian komika yang di atas panggung). Heckler tersebut teriak berulang ulang  ”Im Rick James, Bitch!”. Sebuah kalimat terkenal (catch frame) dari acara The Dave Chappelle Show.

Dave kesal, kemudian pergi meninggalkan panggung. Beberapa menit kemudian dia kembali ke atas panggung dan berkata..

“You know why my show is good? Because the network officials say you’re not smart enough to get what I’m doing, and every day I fight for you. I tell them how smart you are. Turns out, I was wrong. You people are stupid”

Tahun 2005 Chappelle memutuskan tidak mengambil kontrak yang ditawarkan Viacom. Dave menyatakan tidak suka dorongan kreatif program TVnya diarah arahkan demi rating. Dave bilang harusnya program tersebut formatnya seperti film mini, tapi viacom inginnya dibuat sketsa seperti yang terjadi di season 1 dan 2.  Tentunya atas permintaan viacom. Dave merasa penontonnya cukup cerdas untuk memahami komedi yang ditawarkannya, stasiun TV berpikir sebaliknya, mereka merasa penonton TV kebanyakan ekonomi bawah dan tidak apresiatif terhadap hal hal yang cerdas.

Masalah Dave, adalah masalah semua orang juga di Indonesia. Provocative Proactive-pun berubah format dari talkshow dan news menjadi banyak sketsa. Katanya “Lebih seru, penonton lebih suka..”
Pada satu kesempatan, saya pernah berbincang dengan Pak Jose Rizal Manua, pimpinan Teater Tanah Air. Pertunjukan teater di mana pemainnya adalah 100% anak anak. Beliau bersama TTA pernah meraih juara pertama pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen, Jerman tahun 2006. Pulang ke Indonesia, beliau menawarkan pertunjukan tersebut untuk ditayangkan di TV. Seluruh stasiun TV jawabannya sama: “Penonton nggak ngerti dikasi beginian”. Pak Jose bertanya balik “Kok bisa nggak ngerti? Wong ini bisa jadi juara dunia di depan penonton jepang, jerman, inggris, dan negara negara lain sementara bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Orang asing yang ga bisa bahasa Indonesia aja ngerti bahkan jadi juara, kenapa rakyat Indonesia sendiri dibilang ga ngerti?”

Sayang, stasiun TV tetap pada pendiriannya. Suguhan teater juara dunia ini tidak ditayangkan.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang bisa bawa perubahan kepada stasiun TV?
Semuanya.
Penonton harus menuntut program yang lebih baik.

Pemerintah sebaiknya buat UU utk menjamin tayangan TV berkualitas (di Belanda, pemerintahnya mewajibkan semua stasiun TV menayangkan program dokumenter sebanyak 20% dari total program mereka) Klien harus mulai lebih berani dalam mengambil keputusan periklanan. Yang ini pergeserannya sudah mulai terlihat.

Nielsen Media Research harusnya ada yang mengawasi, seperti di luar negeri, lembaga lembaga rating diawasi oleh lembaga Independen. Ini penting mengingat NMR adalah pemain satu satunya saat ini di Indonesia. Ada sih pemain lain tapi tidak jadi hitungan. Seperti Cineplex 21 dan Blitz Megaplex. Mereka bersaing? Come on, be real. Its still a monoply.

Power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely.
Pertanyaan besarnya harusnya ditanyakan kepada seluruh rakyat Indonesia, apakah benar tuduhan Dave Chappelle..

Are we all dumb?
If we are, we need to change it.
If we are not, we need to prove it.
Lets move it.

Komen dari ane :

Gambaran yang nyata terhadap pembahasan tersebut adalah acara yang ditayangkan di salah satu stasiun swasta, yaitu YKS, ane sendiri sebagai pengguna televisi bingung dengan acara –acara televise sekarang mengapa hanya mengejar rating? Kalau acaranya bermanfaat sih tidak apa-apa, tetapi acara ini justru menyudut kepada hiburan semata, dan hiburan tersebut juga tidak selalu menghibur bahkan bisa mengundang kontroversi, yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan sekarang tentang goyangan fenomenal khas acara tersebut, yang membuat sebagian kalangan jengkel, jadi menurut ane sendiri untuk mengatasi hal tersebut kita sebagai diri sendiri juga harus bisa sadar tentang apa yang di lihat dari industry Televisi yang menyuguhkan acara yang sekiranya layak atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar