Tulisan ini berdasarkan penuturan
seorang presenter Televisi Pandji Pragiwaksono, penuturannya akan membahas
tentang keadaan industry Televisi, isinya tertuju untuk Industri TV di
Indonesia berikut penuturannya,
Industri TV memang aneh.
Fakta bahwa mereka hidup dari
rating karena pengiklan berpatokan kepada rating membuat tindak tanduk stasiun
TV jadi aneh aneh demi ditonton orang.
Sebenarnya, penonton TV itu
seperti Piramid terbalik. Yang paling banyak nonton adalah yang merupakan kelas
ekonomi bawah. Artinya ketika sebuah acara TV ratingnya bagus, maka itu bukan
menandakan program tersebut banyak ditonton orang, tapi menandakan bahwa
program TV itu banyak ditonton oleh masyarakat kelas bawah.
Sistem survey Nielsen Media
Research juga disesuaikan dengan strata ekonomi para penonton TV. Misalnya,
dari 100 responden, 50% adalah dari strata ekonomi bawah, 30% ekonomi menengah,
20% ekonomi atas. Mengapa angkanya tidak rata, karena kenyataannya memang yang
nonton jumlahnya tidak rata. Kalau angkanya dibuat sama, maka hasil risetnya
tidak akan akurat menggambarkan kenyataan di lapangan
Itulah mengapa banyak program TV
yang terpaksa di “Dumb it down” atau dibikin “goblok” demi mendapatkan
perhatian masyarakat kelas bawah.
Lucunya, atas alasan pencitraan,
sejumlah stasiun TV mengaku kepada saya mereka butuh program program kelas
menengah ke atas. Stasiun stasiun TV ini mulai kewalahan menyuguhkan program
program TV kelas bawah karena iklan yang masuk akhirnya untuk masyarakat kelas
bawah yang notabene bukan perusahaan besar dan kurang mampu bayar mahal.
Sebagai ilustrasi, anda tidak akan pernah melihat iklan BMW di Indosiar.
Namun TV dengan sasaran penonton
kelas menengah ke atas juga kewalahan karena iklan iklan tidak ada yang masuk,
pengiklan tidak mau pasang di TV tersebut karena penontonnya sedikit.
Harusnya pengiklan tidak memasang
iklan dengan ditentukan dari berapa banyak orang yang menonton, tapi siapa yang
menonton.
Saya jadi ingat Dave Chappelle,
yang setelah punya reputasi hebat sebagai Stand-Up Comedian ditawarin membuat
program TV The Dave Chappelle Show.
Setelah 2 season yang super
sukses, thn 2005 Viacom sebagai induk
perusahaan Comedy Central menawarkan kontrak season 3 & 4 sebesar $
55.000.000,- atau sebesar Rp 550 milyar.
Sekadar info, 1 season adalah 13 episode. Untuk acara mingguan maka
artinya 2 season itu tayang sepanjang 6 bulan kurang lebih.
Dave Chappelle menolak kontrak
tersebut, dan bersama anak istrinya pindah ke Afrika untuk hidup tenang sebelum
akhirnya kembali ke Amerika Serikat.
Pertanyaanya kemudian, mengapa
Dave meninggalkan uang begitu banyak?
Jawabannya, terselip di panggung
ketika dia sedang dalam pertunjukan Stand-Up Comedy di 2004. Salah satu
penonton sepanjang malam nge-heckle Dave (heckle atau heckling adalah ketika
ada penonton yang sepanjang pertunjukan teriak teriak mencoba menarik perhatian
komika yang di atas panggung). Heckler tersebut teriak berulang ulang ”Im Rick James, Bitch!”. Sebuah kalimat
terkenal (catch frame) dari acara The Dave Chappelle Show.
Dave kesal, kemudian pergi
meninggalkan panggung. Beberapa menit kemudian dia kembali ke atas panggung dan
berkata..
“You know why my show is good?
Because the network officials say you’re not smart enough to get what I’m
doing, and every day I fight for you. I tell them how smart you are. Turns out,
I was wrong. You people are stupid”
Tahun 2005 Chappelle memutuskan
tidak mengambil kontrak yang ditawarkan Viacom. Dave menyatakan tidak suka
dorongan kreatif program TVnya diarah arahkan demi rating. Dave bilang harusnya
program tersebut formatnya seperti film mini, tapi viacom inginnya dibuat
sketsa seperti yang terjadi di season 1 dan 2.
Tentunya atas permintaan viacom. Dave merasa penontonnya cukup cerdas
untuk memahami komedi yang ditawarkannya, stasiun TV berpikir sebaliknya,
mereka merasa penonton TV kebanyakan ekonomi bawah dan tidak apresiatif
terhadap hal hal yang cerdas.
Masalah Dave, adalah masalah
semua orang juga di Indonesia. Provocative Proactive-pun berubah format dari
talkshow dan news menjadi banyak sketsa. Katanya “Lebih seru, penonton lebih
suka..”
Pada satu kesempatan, saya pernah
berbincang dengan Pak Jose Rizal Manua, pimpinan Teater Tanah Air. Pertunjukan
teater di mana pemainnya adalah 100% anak anak. Beliau bersama TTA pernah
meraih juara pertama pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen,
Jerman tahun 2006. Pulang ke Indonesia, beliau menawarkan pertunjukan tersebut
untuk ditayangkan di TV. Seluruh stasiun TV jawabannya sama: “Penonton nggak
ngerti dikasi beginian”. Pak Jose bertanya balik “Kok bisa nggak ngerti? Wong
ini bisa jadi juara dunia di depan penonton jepang, jerman, inggris, dan negara
negara lain sementara bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Orang
asing yang ga bisa bahasa Indonesia aja ngerti bahkan jadi juara, kenapa rakyat
Indonesia sendiri dibilang ga ngerti?”
Sayang, stasiun TV tetap pada
pendiriannya. Suguhan teater juara dunia ini tidak ditayangkan.
Pertanyaannya kemudian, siapa
yang bisa bawa perubahan kepada stasiun TV?
Semuanya.
Penonton harus menuntut program
yang lebih baik.
Pemerintah sebaiknya buat UU utk
menjamin tayangan TV berkualitas (di Belanda, pemerintahnya mewajibkan semua
stasiun TV menayangkan program dokumenter sebanyak 20% dari total program
mereka) Klien harus mulai lebih berani
dalam mengambil keputusan periklanan. Yang ini pergeserannya sudah mulai
terlihat.
Nielsen Media Research harusnya
ada yang mengawasi, seperti di luar negeri, lembaga lembaga rating diawasi oleh
lembaga Independen. Ini penting mengingat NMR adalah pemain satu satunya saat
ini di Indonesia. Ada sih pemain lain tapi tidak jadi hitungan. Seperti
Cineplex 21 dan Blitz Megaplex. Mereka bersaing? Come on, be real. Its still a
monoply.
Power tends to corrupt, absolut
power corrupts absolutely.
Pertanyaan besarnya harusnya
ditanyakan kepada seluruh rakyat Indonesia, apakah benar tuduhan Dave
Chappelle..
Are we all dumb?
If we are, we need to change it.
If we are not, we need to prove
it.
Lets move it.
Komen dari ane :
Gambaran yang nyata terhadap
pembahasan tersebut adalah acara yang ditayangkan di salah satu stasiun swasta,
yaitu YKS, ane sendiri sebagai pengguna televisi bingung dengan acara –acara televise
sekarang mengapa hanya mengejar rating? Kalau acaranya bermanfaat sih tidak
apa-apa, tetapi acara ini justru menyudut kepada hiburan semata, dan hiburan
tersebut juga tidak selalu menghibur bahkan bisa mengundang kontroversi, yang
sedang hangat-hangatnya dibicarakan sekarang tentang goyangan fenomenal khas
acara tersebut, yang membuat sebagian kalangan jengkel, jadi menurut ane
sendiri untuk mengatasi hal tersebut kita sebagai diri sendiri juga harus bisa
sadar tentang apa yang di lihat dari industry Televisi yang menyuguhkan acara yang
sekiranya layak atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar